OPINI TELUSUR

Al-Amien Prenduan dan Cerita Langka dalam Perjalanan Hidup

Penulis: Ach Jazuli*

Cerita ini menjadi prasasti kisah penting dalam hidup saya. Dan saya pikir perlu abadikan dalam catatan ini. Ini adalah kisah kunjungan langka ke Ponpes Al-Amien Prenduan, yang mungkin ada satu-dua hal bisa dipetik sebagai pelajaran oleh kawan-kawan.

Kamis (20/02/25) saya datang ke acara wisuda keponakan di TMI Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Ini baru kali pertama saya menginjakkan kaki di pesantren yang sudah berdiri sejak tahun 1952. Pernah sih, beberapa kali ke pesantren ini. Tapi tidak dengan kegiatan “khusus” semacam dalam catatan ini.

Sembari menunggu keponakan selesai acara wisudanya, saya sengaja menyempatkan diri untuk keliling ke area asrama santri, karena kebetulan kalau ada acara besar semacam ini, kita (yang bukan keluarga santri) bisa masuk ke area asrama putri, yang tentu tetap dengan izin satpam.

Saya memang seringkali penasaran dengan pondok pesantren atau sekolah-sekolah yang diberitakan atau bahkan memang nyatanya telah terbukti mencetak generasi unggul dan keren. Nah, salah satunya adalah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan ini.

Saya sudah sejak dari dulu, setiap kali ngobrol dengan kawan-kawan yang lulusan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, selalu timbul penasaran tentang budaya yang dibangun di area asrama pondok. Meski sudah sering mendengar cerita dan berita tentang Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, tapi kayaknya kok masih kurang puas jika tidak muter-muter langsung di pakarangannya.

“Gimana, ya caranya”, kata saya, dulu. Eh, ternyata tanpa disangka, semesta memberikan jawabannya lewat istri. Ya, tanpa terencana pula, istri saya merupakan alumnus dari Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Dan hari itu yang diwisuda adalah keponakan istri.

Kurang lebih satu jam saya keliling asrama santri sambil lalu ngobrol ringan dengan istri dan sesekali dengan orang yang kebetulan berpapasan, entah pengurus atau santri, saya kurang tahu, tapi istri memberikan keterangan atas itu semua (maklum, alumni yang pernah mondok tujuh tahun, jadi tatengngerra santrè bân bânni santrè masih terpatri sampai saat ini).

Termasuk hal-hal baru yang saya temukan di sepanjang komplek asrama. Seperti papan nama dengan dua bahasa, bener-bener quote di sepanjang area, serta nama-nama gedung dan fungsinya. Ternyata memang betul, saya serasa dibawa pada lingkungan yang benar-benar “pendidikan”.

Setiap kali mata memandang, tak satupun saya dapati santri yang berjalan atau yang sedang nongkrong tanpa pegang buku atau Al Quran. Lingkungannya begitu asri dan tenang. Tak ada teriakan, pekikan, apalagi misuh. Setiap di antara mereka berjalan dengan tenang, bicara pelan, tak ada yang saya dapati, santri lari-lari sambil teriak-teriak.

Belum lagi halamannya, sepucuknya tidak saya temukan sampah berserakan di halaman. Santri “seakan-akan” dan barangkali sudah menjadi karakter yang terpatri, bahwa setiap sampah memang harus berdiam pada tempatnya. Ah, tidak heran jika Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan memiliki motto “Beribadah, Belajar, Berlatih, dan Berprestasi” Gumam saya.

Tidak hanya itu, di saat saya dan istri sedang asyik ngobrol melewati gang asrama, tiba-tiba ada suara yang memanggil nama saya, tapi tidak saya gubris. “Masak ada yang kenal saya di sini, mungkin orang lain, hanya saja namanya yang sama”, pikir saya.

Suara panggilan itu terdengar lagi, kemudian saya mencoba menoleh. Ternyata benar, suara tadi memang sedang memanggil saya. Ya, Aulia. Saya lupa kalau dia melanjutkan studinya di Tahfidz Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Dia lulusan SMP di mana saya mengajar. Ya, SMP Integral Luqman Al Hakim Sumenep. Lepas itu terjadilah obrolan cukup panjang saya dengan Aulia, selain saling bertukar kabar, saya juga banyak bertanya tentang kegiatan dan kebiasaan di asrama, maka bertambahlah rasa “subhanallah” saya tentang pondok pesantren Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Artinya memang benar sekali bahwa kunci utama dari berkembang dan majunya SDM kita, tergantung dari budaya dan lingkungan yang dibangun dan ditempati.

Suasana Wisuda yang Lain

“Kira-kira wisudanya sudah selesai, gak, ya?” tanya saya pada istri.

Dia hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian bilang “sepertinya belum”.

“Gimana kalau kita ke area tempat acara”, saya mencoba ngajak istri, dan ternyata tanpa panjang lebar ia mengamini.

Dari area asrama putri, selepas muter-muter dan ngobrol bareng Aulia, saya dan istri bergegas ke arah barat daya menuju gedung tempat acara wisuda berlangsung. Dan di sepanjang jalan, lebih-lebih di depan gedung acara saya kembali dikejutkan dengan sesuatu yang istimewa dan keren sekali.

Terpampang dengan begitu besar dan banyak sekali karya tulis siswa yang diwisuda, baik berupa buku maupun karya tulis ilmiah. “Subhanallah”, kata saya. Sungguh ini pemandangan yang sangat indah. Kalau seperti ini, sudah jelas kontribusinya pada tumbuh-kembangnya dunia literasi. Karyanya jelas dan nyata berdampak.

Tidak seperti berita yang baru-baru ini muncul di Sumenep yang kita cintai ini. Pejabatnya, tanpa ada hujan, angin, apalagi kontribusi, tiba-tiba la ètemmo dinobatkan sebagai penggiat literasi nasional dan bunda literasi. Apa tidak malu dengan pelajar Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan ini. Tapi sudahlah, kalau kata teman saya, pejabat publik emang sering gitu, yang dinilai dan menilai sama saja. Sama-sama ngelanturnya.

“Di sini, karya tulis seperti ini begitu sangat dihargai oleh sekolah, sangat diapresiasi, salah satunya pada nilai kelulusan, sehingga santri begitu bersemangat untuk belomba-lomba dalam melahirkan karya.” Kata istri saya.

Aku hanya mengangguk dan takjub, kemudian kembali teringat pada apresiasi itu. Pemerintah sudah pernah mengapresiasi apa, ya? Atau menimalnya pernah memberikan dukungan dalam bentuk apa, ya pada giat-giat literasi semacam ini? Sudahlah, ngapain mikirin mereka, wong mereka tidak pernah memikirkan kita.

Kembali pada cerita. Jarang sekali saya temukan acara wisuda sekolah seperti kali ini, ada rasa yang beda dan haru ketimbang wisuda-wisuda sekolah pada umumnya. Banyak sekali nuansa yang memang seharusnya ada pada acara wisuda. Padahal saya hanya keliling di area luar gedung acara, bukan menyaksikan atau mengikuti acara wisuda di dalam gedung. Entah di dalam seperti apa, saya kurang paham.

Apresiasinya pada karya siswa begitu sangat tinggi, pameran karya dan prestasi semuanya menjadi hidangan yang menakjubkan di area luar gedung acara. Wali santri dan orang-orang yang hadir tidak hanya disuguhkan pada stand-stand pentol goreng dan tahu bulat, tapi karya dan prestasi siswa. Bahkan, stand makanan bisa dihitung dengan jari, padahal kalau bicara bisnis jangga pendek, sudah jelas bakal untung besar jika melihat orang-orang yang hadir dengan jumlah ribuan.

Berziarah Ke Congkop Ponpes Al-Amien Prenduan

Setelah selesai acara wisuda dan pernak-pernik lainnya, seperti foto-foto, saling memberikan selamat, pun bersua dengan keluarga, akhirnya rombongan pulang.

Saya memilih tetap di lingkungan pesantren. Saya juga minta istri agar mengantarkan saya ke area pemakaman pendiri pondok, atau yang saya tahu istilah di pondok-pondok pesantren biasa disebut dengan congkop.

Sebenarnya jauh sebelumnya, saya mengutarakan keinginan saya pada istri untuk bisa ke congkop Al-Amien, cuma belum kesampaian. Nah, kala itu saya tidak ingin kelewat. Pikir saya, belum tentu saya dapat kesempatan itu. Istri menyetujui dan akhirnya oteweh. Kebetulan, saya dan istri bawa motor sendiri, jadi bisa misah dari rombongan.

Tiba di lokasi, saya kembali menyerap lingkungan baru, karena ternyata congkop berada di area asrama santri putra. Kala itu, saya sampai sekitar jam satu siang, jadi sekalian sebelum sowan ke congkop, saya melaksanakan salat zuhur di masjid. Di sana juga mendapati budaya yang hampir sama persis dengan di asrama putri. Semua santri pegang buku dan Al-Quran, bahkan yang sedang istirahat di amperan masjid, mereka bersanding buku di dekapannya. Ah, ini sungguh lingkungan “pendidikan”.

“Ayo…” Bisik istri dari tangga masjid paling bawah. Sepertinya sudah memberi isyarat agar segera ke congkop. Saya pun mengangguk dan bergegas turun dari masjid. Mengambil langkah menuju congkop yang berada tepat di samping masjid, mungkin hanya sekian tèddhâk saja sudah sampai. Dalam hati dan lisan memberi salam.

Saya menundukkan pandangan begitu pelan, semacam terdapat aura lain ketika saya memandangi setiap nisan di congkop itu. Kembali saya berucap salam dan dilanjut dengan bertawassul, memohon berkah atas segala pilihan hidup yang diambil.

Semakin ke sini, saya semakin yakin bahwa antara yang hidup dan yang sudah meninggal hanya beda alam saja, selebihnya sambungan itu akan tetap terkoneksi tanpa sekat batas ruang dan waktu. Jika bukan kepada kekasih-Nya dan hamba-hambaNya yang saleh, kepada siapa lagi kita akan bertawassul.

Foto: Tembok sisi depan  Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep (Iqra.id)

*Penulis buku Kisah Hujan yang Lain, sekaligus Penggerak Komunitas Ghâi’ Bintang (KGB).

Penulis: Ach Jazuli
Editor: Abd Gafur 

Anda mungkin juga suka...