Sastra  

Aku Pembunuh Tohir dan Sapinya

Ilustrasi: Karapan sapi Madura.(https://blogger.googleusercontent.com)

Penulis: Rosul M*

Sampai subuh datang. Suara azan masjid di depan pasar ini tak begitu jelas kudengar. Yang sangat jelas adalah suara keparat Tohir. Berteriak-teriak hingga kepalaku hampir pecah. Hampir meledak. Bisa-bisa aku mati mendengar suara itu.

“Sampean sudah gila! Dasar pembunuh!” Suara istriku sangat tinggi.

Suaranya menembus kamar-kamar di rumah ini yang ditempati kakak sepupuku dan suaminya, nenek yang sudah uzur (beliau berkamar sendiri karena kakek sudah wafat), adik sepupuku. Lalu melayang keluar didesir angin malam hingga sampai ke rumah sebelah yang ditinggali kerabat lainnya, juga sampai ke dapur yang terpisah hingga kucing yang hendak maling lauk terlompat mendengarnya, pula ayam-ayam dan kambing-kambing kami yang pulas di kandang terbangun. Cecak yang menempel dan laba-laba yang bikin sarang, di kamar mandi pun mendengarnya.

Tapi tidak seorang keluarga pun yang menghampiri suara melengking itu. Aku tak tahu mereka mendengarnya atau tidak, atau mendengar tapi pura-pura tidak mendengar barangkali sebab telah bosan mendengar pertengkaran-pertengkaran kami yang sering. Walau istriku kadang menyebalkan, cintaku padanya tetap setinggi langit dan sedalam samudera.

“Huuussttt!” Kubekap mulutnya yang ganas, “jangan keras-keras.”

“Apa? Sampean benar-benar sudah gila. Tak ada satu pun yang mendengar suaraku.”

Aku duduk di atas kasur. Lalu istriku bertanya dengan suara rendah. Menyembunyikannya dari disadap orang lain.

“Kenapa sampean membunuhnya?”

“Jagoanku, Naga Api kalah tanding.”

“Anjing! Hanya gara-gara tetek bengek karapan sapi itu?”

“Jaga mulutmu!”

“Jangan-jangan sampean juga yang membunuh sapi Tohir?”

Sekonyong-konyong kudengar suara sirine mobil polisi meraung-raung. Kudengar samar-samar suara para polisi bercakap-cakap. Mereka bertiga! Seratus persen mereka hendak menangkapku. Mereka sudah sampai di jalan dekat gapura desa. Sembilan ratus meter lagi sampai ke sini. Anjing! Malam-malam begini mereka memburuku. Lebih baik kalian lelap dalam mimpi polisi berengsek! Daripada capek-capek mengejarku.

Aku pamit ke istri beralasan buang hajat besar. Agar lebih meyakinkan tetap kukenakan kaos sepak bola Madura United dan sarung bermerk Wadimor berwarna hijau.

Tanpa dia tahu aku membuka pintu belakang yang langsung menempatkanku di luar rumah kala melewatinya. Dia akan menanti. Berwajah sayu mengkhawatirkan suaminya yang masih waras ini. Sengaja tadi kututup pintu kamar mandi. Tatkala istriku sampai di depan pintu kamar mandi, dia menunggu di luar. Tatkala masa kian berlalu, lama sekali, sampai setengah jam aku mendekam di kamar mandi, pikirnya, maka dia mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Tak ada sahutan suara. Yang punya suara tidak ada di dalam sana. Istriku akan terkejut saat membuka pintu kamar mandi.

Cinta yang bergelayut untukku di hati istriku sangat besar. Lebih besar dari cintaku. Aku masih suka melirik-lirik perempuan lain, termasuk mantan istri pamanku yang menjanda karena pamanku itu sudah tamat hidupnya, yang nian cantik, montok, dan berpayudara besar. Sementara istriku pandangannya menunduk di hadapan lelaki selain suaminya.

Dia tak akan menceritakan kalau aku pembunuh Tohir dan sapinya. Dia tak pernah bercerita macam-macam soal keburukanku, berbeda dengan kerabat lainnya yang begitu semangat bergosip. Tapi istriku seperti yang lainnya, dalam hal mulut yang tak bisa dikendalikan saat marah dan selalu bilang kalau aku gila. Aku tak gila! Sekali lagi kukatan aku sangat waras, tentu tidak gila! Dengarkanlah kalian semua! Dengar!

Aku tak gila. Buktinya aku bisa membunuh manusia dan sapinya dengan sangat cerdik tanpa ketahuan akulah pelakunya. Terceritalah suatu malam gerimis, ketika orang-orang menarik selimut buat tidur. Tak akan ada yang berpikir, di tengah gerimis yang ditingkahi angin dan sesekali petir, seorang laki-laki berumur tiga puluh lima tahun pergi menemui sapi berjuluk Sang Panglima di kandangnya.

Ya, sangat mudah mengelabui makhluk tak berakal. Dalam ember air itu sudah kuaduk racun pembunuh sapi yang kupesan dari Lazada. Ampuh! Keesokan harinya Sang Panglima tergeletak di kandangnya tanpa napas. Dua sapi lainnya di kandang yang sama masih sehat tak sakit sedikit pun.

Jika sampai ketahuan detik itu, sudah tentu diseret-seret badanku oleh warga desa, dibawa ke sebuah lapangan, lalu dibakar hidup-hidup. Dasar orang-orang bodoh! Main hakim sendiri! Tapi sayangnya itu tak terjadi. Jauh sekali perkiraan mereka soal pelaku pembunuhan sapi itu. Ya, Herman disangkakan. Tapi tetap tak ada bukti dan saksi mata, mereka hanya curiga dan Herman juga tak tertangkap basah sedang meracuni sapi milik Tohir.

Sesudah misiku sukses, ada dorongan kuat yang menuntunku sesegera mungkin membunuh pemilik sapi itu juga, Tohir. Malam gerimis waktu itu aku membolak-balik tubuh di atas kasur. Kulihat istriku sudah terlelap. Kubuka-buka HP lalu kututup. Aku memejamkan mata lalu membuka mata lagi hingga serta-merta pagi datang. Tanpa tidur di malam itu. Tohir terus menggangu pikiranku. Tohir menghantuiku.

Pagi hingga siang hingga sore, aku dibayang-bayangi wajah Tohir yang jelek. Ada dorongan kuat supaya aku melenyapkannya pada malam hari itu. Lalu malam kelam, di hari itu, aku mendengar langkah Tohir keluar dari rumahnya hendak melewati jalan setapak di sawah desa yang letaknya jauh dari pemukiman. Entah mau ke mana aku tak tahu. Sebelum sampai ke sana aku mendahului langkahnya, keluar dari rumahku.

“Kak, sampean mau ke mana?” Istriku menghentikan jalanku.

“Mau keluar Lek, sebentar. Mau beli rokok.”

“Memang ada warung buka jam segini?”

“Tentu saja.”

Istriku tidak tahu di balik bajuku ada celurit yang dijepit buntalan sarung. Sebelum Tohir sampai, aku sudah bersembunyi di balik semak-semak dekat pohon siwalan. Aku bersembunyi di sana. Tertelan gelap. Dia tak akan melihatku. Aku mendengar langkah kaki Tohir yang angkuh semakin mendekat. Seperempat jarak di jalan setapak itu, dia berteriak dan berusaha lari tergopoh-gopoh. Tak akan sempat! Dia terperosok! Lalu kutebas-tebas seluruh tubuhnya. Suaranya parau melengking, memohon ampun dan meminta tolong. Sayangnya tak ada seorang pun yang mendengarnya kecuali diriku.

Tawaku meledak malam itu. Aku tertawa sangat keras. Toh, tak akan ada yang mendengarnya. Aku tak perlu buang-buang duit menyewa pembunuh bayaran di aplikasi Gokill. Tadi pagi kulihat sebuah iklan di media sosial:

Jika ingin membunuh seseorang katakanlah GoKill ([1])

Lalu keesokan paginya. Petani-petani berteriak-teriak. Kabar itu melesat menyebar seketika seantero desa. Mayat Tohir ditemukan secara mengenaskan di sawah dekat jalan setapak. Bermandikan darah dan penuh luka-luka tebasan. Lagi-lagi mereka tak menyangka kalau akulah pelakunya. Lagi-lagi mereka curiga pada Herman.

Sekonyong-konyong ada dorongan kuat lagi yang mengharuskanku membunuh Herman dan sapinya. Karena dia juga lah uangku ludes. Anjing! Dalam karapan sapi setiap enam bulan sekali itu, aku bertaruh dua juta untuk Herman dan sapinya berjuluk Naga Api. Sudah tiga kali dia juara berturut-turut. Tapi anjing! Hari itu Herman dan sapinya kalah oleh pendatang baru, yakni Tohir dan sapinya berjuluk Sang Panglima. Hingga setelah melenyapkan Tohir dan sapinya, ada dorongan dahsyat agar melenyapkan Herman dan sapinya.

Aku belum melakukannya sampai sekarang. Sudah tiga hari berlalu dari pembunuhan Tohir malam itu. Justru entah mengapa mulutku mengeluarkan pengakuan pada istriku atas kebejatan yang sudah kuperbuat.

Malam tanpa rembulan ini. Aku tiba di pasar. Aku duduk di sebuah lincak. Lalu merebahkan diri. Malam ini pun aku tak bisa tidur. Aku mendengar lolongan kesakitan yang sangat kelam dari Tohir. Suara parau melengking itu menghantuiku. Aaahhkkk! Anjing! Sampai-sampai Aku tidak merasakan efek gigitan nyamuk-nyamuk bajingan. Suara itu terus nyaring. Keras sekali di telingaku.

Sampai subuh datang. Suara azan masjid di depan pasar ini tak begitu jelas kudengar. Yang sangat jelas adalah suara keparat Tohir. Berteriak-teriak hingga kepalaku hampir pecah. Hampir meledak. Bisa-bisa aku mati mendengar suara itu.

Lalu pagi tatkala pasar ramai, entah mengapa kakiku melangkah sendiri ke kantor polisi. Sampai ke dalam. Saat aku ditanyai macam-macam, serta-merta mulutku berbicara sendiri kepada polisi-polisi angkuh itu. Mereka terperanjat. Tajam sekali tatapan mereka. Tatapan yang menyembulkan kebencian. Ketika kuceritakan kejadian malam gerimis membunuh sapi dan malam kelam membunuh Tohir, tawaku meledak-ledak.

Anjing! Mereka mengataiku gila! Padahal jelas semalam mereka mencariku, tapi mereka mengatakan: tak ada mobil polisi yang memasuki desaku dan tiga polisi yang mencariku. Aku tak gila! Lantas keluargaku berdatangan termasuk istriku tercinta dan beberapa orang desa. Wajah-wajah mereka merajalela keterkejutan. Anjing! Setelah aku dipindahkan supaya dites urine, aku ketahuan positif narkoba! ([2]).

Surabaya, 6 April 2024

*Santri abadi yang  tertarik tadarusan sastra.

Catatan:

[1] Dari cerpen SGA (Seno Gumira Ajidarma) berjudul “Gokill” (Kompas, 10/06/2018). GoKill adalah aplikasi untuk jasa pembunuhan dalam cerpen SGA sama seperti aplikasi GoRide, GoFood, GoClean, GoCar.

[2] Karya ini terinspirasi dari cerpen penulis Amerika, Edgar Allan Poe berjudul “The Tell Tale Heart” (Diterbitkan tahun 1843).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *