Pamekasan – Hari baru beranjak siang. Saya mengendarai motor dengan kecepatan kurang lebih 40-60 km/jam. Pada perjalanan sekitar 20 kilometer dari melaju, saya menepi di sisi kiri ruas jalan.
Puluhan pohon jati dengan ragam tinggi dan diameter berderet namun berjarak tak beraturan. Daunnya lebat, hijau dan terlihat segar. Dari puluhan batang pohon bernama ilmiah Tectona grandis Linn. f itu, terdapat spanduk kampanye lengkap dengan foto kontestan pemilihan umum memakai jas hitam dan berpeci. Dipaku di posisi sekitar 2,5 meter dari pangkal.
Saya ambil beberapa gambar dengan kamera ponsel. Selesai ambil gambar itu, saya kembali melaju. Baru menempuh perjalanan 1 kilometer, saya memilih menepi lagi di sisi kiri ruas jalan, tepat di bawah pohon kelapa yang rindang dan berbuah lebat.
Nasib pohon bernama ilmiah cocos nucifera itu sama dengan pohon jati tadi. Spanduk setinggi 3 meter x 40 cm bergambar orang lengkap dengan peci dan kacamata. Di sebelahnya, terdapat beberapa pohon kayu kuda (Lannea coromandelica). Spanduk ukuran sekitar 60 x 80 dipaku di batangnya.
Fenomena penempelan spanduk kampanye itu saya temui sepanjang perjalanan dari Kecamatan Waru menuju Pamekasan Kota, Jawa Timur, Rabu 10 Januari 2024. Sebagian diikat dengan kawat, sebagian lainnya dipaku.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur minta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tegas menyikapi fenomena tersebut.
Menurutnya, tindakan itu jelas melanggar aturan. Fenomena pelanggaran kampanye dengan memaku alat peraga kampanye atau mengikatnya memakai kawat ke pohon menjadi persoalan yang setiap gelaran pemilu terus berulang.
Wahyu menuturkan, pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh para kontestan pemilu tanpa mengindahkan aturan yang berlaku, sekaligus melanggarnya.
Hampir di setiap kota/kabupaten Jawa Timur, ungkapnya, fenomena itu selain jadi polusi visual, pemakuan dan pengikatan alat peraga kampanye tersebut dapat memicu kerusakan pada batang pohon
“Kampanye itu boleh. Tapi tidak juga dengan merusak pohon demi mendulang suara pemilih. Berdasarkan pengamatan kami bersama jaringan, banyak pohon di kota/kabupaten Jawa Timur tidak luput dari perusakan, bahkan cenderung adanya pembiaran,” beber Wahyu, belum lama ini.
Menurutnya, tanggung jawab kontestan pemilu juga sangat minim. Mereka yang notabene ingin mendapatkan suara melalui alat peraga justru melakukan aneka kerusakan pada pohon dan membuat polusi visual.
Praktek kampanye yang liar ini, ujarnya, selalu terjadi berulang dan menimbulkan terganggunya estetika keindahan kota.
Dia menilai, fenomena itu terjadi dan terus berulang, karena minimnya pengawasan dan ketegasan dari pengawas pemilu dan pemerintah daerah menjadi celah yang dimanfaatkan dalam melakukan praktik demikian.
Wahyu mengungkapkan, catatan sepanjang bulan Desember 2023 pemerintah Kota Surabaya dan Bawaslu Kota Surabaya melakukan penertiban alat peraga kampanye.
“Tetapi hemat kami itu tidak cukup, karena hanya menyasar wilayah yang menjadi sorotan publik seperti jalan protokol, sementara yang tak tampak dibiarkan begitu saja. Hal ini juga berlaku di Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan Malang Raya,” ungkapnya.
Perilaku pelanggaran ini, katanya, setidaknya disebabkan oleh 4 faktor. Pertama, berhemat ongkos pemilu. Kedua partai atau para kontestan pemilu tidak pernah memberikan edukasi dan menyebarkan pengetahuan tentang aturan larangan merusak pohon, serta menunjukkan minimnya literasi atas aturan serta etika lingkungan.
Ketiga, baik KPU maupun Bawaslu kurang tegas dalam menindak para perusak pohon terutama pada kontestan atau partai terkait. Keempat, KPU maupun Bawaslu juga belum maksimal dalam mengedukasi atau meningkatkan literasi pada partai atau kontestan mengenai aturan yang berlaku.
Meskipun KPU RI sudah membentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang mengatur terkait bagaimana penyelenggaraan pemilu yang tertib dan efisien pada faktanya di lapangan masih banyak dijumpai alat peraga kampanye yang dipasang secara liar dengan menjadikan pohon sebagai salah satu obyek pemasangan.
Larangan kampanye pemilu tercantum jelas pada Pasal 70 ayat (1) huruf H yang berbunyi: “Bahan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang dapat ditempel dilarang ditempelkan di tempat umum sebagai berikut : h. Taman dan pepohonan.“
Pada pasal tersebut dijelaskan secara tegas bahwa alat peraga dilarang dipasang di pepohonan, apalagi dengan cara memasang paku atau tali kawat yang berpotensi merusak fungsi pohon.
Perlindungan pohon pada ruang publik juga telah diatur dalam Pasal 10 ayat (4) Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 76 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pohon Pada Ruang Publik dimana pohon pada ruang publik perlu dilindungi dari adanya kegiatan yang dapat merusak fungsi pohon.
Sayangnya di Jawa Timur sendiri, tandas Wahyu, masih banyak kota/kabupaten yang belum memiliki kebijakan secara tegas mengenai perlindungan pohon.
Hal ini berbeda dengan Kota Surabaya yang telah memiliki peraturan daerah mengenai perlindungan pohon yang mengatur secara tegas larangan terhadap pemasangan iklan/poster/atau sejenisnya di pohon dan bahkan memaku pohon.
Tantangan pasca terbentuknya kebijakan ini adalah pada sejauh mana kebijakan perlindungan pohon ini mampu diimplementasikan termasuk pada sanksi tegas yang membuat jera, termasuk pidana yang dapat ditujukan pada para kontestan pemilu yang melakukan kampanye dengan cara merusak.
Wahyu menjelaskan, aturan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum tidak ada frasa spesifik terkait pelarangan hingga penindakan perusakan pohon.
Sementara pada pasal 25 hanya melarang pemasangan alat peraga pada fasilitas umum. Pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023, meski menyebutkan secara jelas tetapi sanksi dikembalikan pada peraturan berlaku.
Sedangkan pada peraturan turunan yang ada seperti peraturan daerah di berbagai kota/kabupaten di Jawa Timur banyak yang tidak spesifik bahkan tidak ada.
Sehingga pelanggaran seperti itu terus berlanjut dan diulangi. Hal itu, katanya, merupakan implikasi dari lemahnya aturan dan rendahnya literasi mengenai perlindungan pohon bahkan lingkungan hidup.
“Maka dari itu kami menyampaikan kepada pemangku kepentingan termasuk Bawaslu dan KPU Pusat, Provinsi Jawa Timur dan segenap Bawaslu pada tiap daerah untuk menindak tegas perusak pohon serta membuat aturan yang spesifik beserta sanksi mengenai pelanggaran tersebut,” tegasnya.
Dia mendorong pihak terkait untuk melakukan edukasi kepada partai dan para kontestan mengenai pelanggaran serta pelarangan perusakan pohon.
Dia menambahkan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten/Kota di Jawa Timur untuk membuat aturan yang berisi larangan spesifik mengenai perusakan pohon dengan paku, kawat maupun tali beserta sanksi tegasnya.
“Kami menyerukan kepada masyarakat untuk turut aktif melaporkan perusakan pohon melalui alat peraga kampanye kepada pihak berwenang,” ujarnya.
Dia meminta kepada masyarakat untuk dengan tegas tidak memilih calon ataupun partai yang merusak pohon.
“Bagaimana mau amanah, jika hal seperti memaku alat peraga dalam pohon pun dilanggar meski sudah jelas dilarang. Meski dianggap sebagai hal kecil, tetapi itu bentuk dari ketidak amanahan,”
Khalisah Khalid, Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia menyesalkan maraknya peraga kampanye dengan dipaku atau diikat ke batang pohon.
“Terkait dengan maraknya APK yang menyalahi aturan tentu sangat disesalkan, terlebih sebagai calon wakil rakyat, yang seharusnya taat pada aturan, justru melanggar aturan,” katanya, Kamis 11 2024.
Menurutnya, kampanye caleg sebagian besar, nir visi misi, dan agenda yang akan mereka perjuangkan sebagai calon wakil rakyat ketika mereka terpilih.
“Lalu bagaimana konstituen mengetahui komitmen mereka? Termasuk komitmen terhadap penyelamatan lingkungan patut dipertanyakan, karena pada hal yang paling di permukaan saja mereka tidak paham, bahwa lingkungan hidup juga punya hak yang seharusnya tidak dilanggar,” katanya.
Terlebih, tambah Khalisa, dengan persoalan lingkungan hidup yang lebih kompleks dan berat, patut ragu dengan komitmen kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup. “Bayangkan berapa banyak spanduk tersebut akan berakhir jadi sampah, dan apakah mereka bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan,”
Kampanye-kampanye dengan model seperti itu, katanya, menunjukkan para calon wakil rakyat tersebut tidak kreatif dan inovatif. Padahal mereka berusaha mendapatkan suara dari anak muda yang jumlahnya sangat besar.
“Kenapa itu bisa terjadi? Selain karena mereka tidak punya perspektif lingkungan hidup dan pemahaman tata ruang yang baik. Atau, mereka tahu bahwa penyelenggara pemilu tidak akan memberikan sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan,”
Dia menegaskan, penyelenggara pemilu harus bisa tegas dalam menerapkan peraturan, dengan memberikan sanksi serius atas setiap pelanggaran yang terjadi.
Masyarakat, katanya, harus kritis dan abaikan calon yang tidak peduli lingkungan hidup dan tata ruang dan tidak punya agenda yang jelas, khususnya untuk penyelamatan lingkungan hidup.
“Kami juga mengajak pemilih menjadi pemilih cerdas, tidak memilih calon wakil rakyat yang sejak pencalonannya melanggar aturan,” jelas Khalisa.