Berita Daerah NASIONAL

AJI Jember Imbau Pers Patuhi Kode Etik Jurnalistik dan Berperspektif Korban Kala Beritakan Kasus Kekerasan Seksual

Ketua AJI Jember, Mohamad Ulil Albab mengingatkan agar para jurnalis mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dalam memberitakan kekerasan seksual. Terutama mengimplementasikan teknik peliputan dan pemberitaan yang ramah perempuan dan korban kekerasan seksual.

Imbauan itu, katanya, berdasarkan sorotan AJI Jember  pada pemberitaan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak SMP di Jember baru-baru ini.

“Sejumlah media massa masih mengabaikan pasal-pasal dalam kode etik jurnalistik dengan menunjukkan wajah keluarga korban, baik dari samping atau dari depan. Meski tidak tampak sepenuhnya, tapi orang terdekat masih berpotensi mengenal siapa orang dalam foto tersebut. Hal itu bisa membuat publik mengetahui identitas korban dari orang terdekat,” jelas Ulil, dalam keterangannya, Rabu (18/9/2024).

Imbauan itu, katanya, mengacu pada pasal 5 kode etik jurnalistik yang menerangkan, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila. Penafsiran pasal itu, adalah identitas menyangkut semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak termasuk identitas keluarga korban.

AJI Kota Jember mencatat ada sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Jember. Korban adalah perempuan dewasa hingga anak di bawah umur.

“Alih-alih memberikan perlindungan terhadap korban, pemberitaan yang ditulis di sejumlah media massa justru mengabaikan Kode Etik Jurnalistik yang justru menempatkan korban kembali menjadi korban untuk kedua kalinya,” ungkapnya.

Pantauan AJI Kota Jember, bebernya, ada beberapa pemberitaan yang secara gamblang mengungkapkan identitas berupa foto keluarga korban kekerasan seksual.

Menurut Ulil, pemberitaan kasus kekerasan seksual penting untuk membangun kesadaran publik melawan kekerasan seksual. Namun, menyebutkan identitas korban dan atau keluarga korban hingga mendeskripsikan peristiwa kekerasan seksual secara vulgar mengandung kerentanan dan risiko bagi korban.

Dia bilang, wartawan seharusnya tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Sebab berita cabul tentang kronologi kekerasan seksual bisa menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga.

Ulil menguraikan, dalam pasal 2 kode etik jurnalistik menjelaskan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik yaitu menghormati hak privasi dan menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian berita.

Dia menegaskan, seruan Dewan Pers Nomor: 189/S-DP/VII/2013 Tentang Pemberitaan Kasus Kejahatan Susila menghimbau media untuk berhati-hati dengan tidak mengungkap hal-hal yang dapat mengarah terungkapnya identitas korban kejahatan asusila, termasuk pemuatan gambar korban dan keluarganya, gambar tempat tinggal atau tempat kerjanya, walaupun disamarkan atau diburamkan, masih berpotensi mengarah pada terungkapnya identitas korban.

“Oleh karena itu, pemuatan gambar/foto yang menunjukkan identitas korban tersebut seharusnya tidak dilakukan,” tegasnya.

Mega Silvia, Koordinator Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Kota Jember mengatakan, media massa seharusnya lebih memperhatikan penggunaan diksi dalam setiap penulisan berita kasus kekerasan seksual.

Dia menilai, masih banyak media online maupun cetak yang keliru dalam memakai diksi untuk menyebutkan kasus kekerasan seksual yang menimpa korban.

“Hal ini sangat penting, sebab akan menentukan persepsi publik dalam melihat fakta kasus yang terjadi. Jurnalis harus bisa membedakan antara tindakan pemerkosaan, pelecehan, dan pencabulan,” terang Mega.

Menurutnya, penggunaan kata kiasan “rudapaksa, menggagahi, dan menyetubuhi” yang selama ini masih sering digunakan oleh jurnalis seharusnya dihindari dan tidak perlu dipakai.

“Kiasan semacam itu, akan mengaburkan tindakan kejahatan pelaku dan cenderung menempatkan korban sebagai korban dua kali dalam tulisan jurnalis,” ulasnya.

Dia menegaskan, pemberitaan yang berperspektif adil gender diperlukan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, agar pers dapat berkontribusi dalam melindungi korban sekaligus tidak kehilangan peran mendorong penegakkan hukum serta bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat mencegah terjadinya kejahatan asusila.

Iustrasi: Meliput dan memberitakan kasus kekerasan seksual harus berperspektif korban. (AJI Indonesia)

Anda mungkin juga suka...