Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember ajak elemen masyarakat peka hak-hak perempuan. Ajakan yang dikemas dengan diskusi itu bertajuk “Akses Kesehatan Seksual dan Reproduksi untuk Situasi Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)”, Rabu (4/12/2024).
Dalam diskusi ini, AJI Jember menghadirkan Fitriyah Fajarwati, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia, sebagai pemantik. Miftah Sonia, anggota Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember sebagai pemandu.
Mega Silvia, Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember bilang, kegiatan ini bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) sebagai upaya untuk menyuarakan hak-hak perempuan terutama korban kekerasan seksual.
Diskusi ini, terangnya, berkolaborasi dengan Tanoker, mengundang jurnalis dan NGO yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terkait isu hak kesehatan seksual dan reproduksi.
“Melalui diskusi ini, AJI Jember ingin mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengurai stigma pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, memperjuangkan pemenuhan akses kesehatan seksual dan reproduksi, dan mewujudkan akses yang setara,” katanya.
Menurutnya, media massa memiliki peran yang sangat penting dalam mempengaruhi opini publik dan pemangku kepentingan, khususnya dalam mempromosikan hak-hak kesehatan masyarakat secara luas untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik.
Namun kenyataannya, kata Mega, media massa tidak selalu tertarik dan terlatih untuk meliput penelitian kesehatan. Selain kurangnya minat, media seringkali kurang memiliki motivasi, keterampilan dan kapasitas untuk memahami, menafsirkan, dan melaporkan temuan penelitian tentang kesehatan, termasuk permasalahan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) serta permasalahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) secara akurat.
Dia menilai, isu HKSR ini masih sangat tabu di masyarakat Indonesia. Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual atau PKRS, masih cenderung dikaitkan dengan pandangan negative dan terabaikan.
“Kenyataannya, pemenuhan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas menjadi hal yang penting sebagai upaya untuk mencegah terjadinya Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Stigma, budaya patriarki, dan interpretasi yang salah terhadap keyakinan agama adalah beberapa faktor penyebab,” jelas Mega.
Penyebab tersebut, berakibat pada:
- Pembatasan akses dan keterbatasan informasi dan layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) termasuk aborsi aman.
- Minimnya pendekatan berbasis HAM dalam proses pembuatan kebijakan.
- Kurangnya komitmen politik dalam implementasi peraturan perlindungan.
Dia menyebut, keadilan reproduksi adalah kerangka kerja yang menekankan hak individu untuk mengontrol tubuhnya, termasuk keputusan mengenai memiliki atau tidak memiliki anak. Ini mencakup akses terhadap informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas.
“Keadilan reproduksi bertujuan untuk memastikan bahwa semua individu, terutama perempuan dan remaja perempuan, dapat membuat keputusan terkait kehidupan reproduksinya tanpa diskriminasi atau tekanan sosial,” jelasnya.

Muhammad Ulil Albab, Ketua AJI Jember bilang, kesehatan reproduksi dijamin oleh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas layanan kesehatan reproduksi di Indonesia.
“Meskipun ada kerangka hukum ini, masih banyak tantangan yang dihadapi, termasuk ketidakadilan dalam akses informasi dan layanan kesehatan. Dampak dari pembatasan akses dan informasi HKSR menyebabkan perempuan, anak perempuan, dan transgender terpinggirkan oleh sistem kesehatan,” kata Ulil.
Menurutnya, situasi menjadi lebih kritis bagi orang-orang yang mengalami kekerasan seksual. Terlebih dengan akses yang terbatas ke pusat layanan, terbatasnya fasilitas kesehatan, dan ketiadaan hukum yang berlaku.
Petugas polisi yang seharusnya memberikan perawatan pemulihan, kata Ulil, dalam banyak kesempatan melakukan viktimisasi ganda selama penyelidikan, atau dengan nilai moral tertentu, penolakan secara sadar justru diberikan ketika penyintas meminta perawatan aborsi yang aman.
Ulil mengungkapkan, sebagian besar penyintas perkosaan yang meminta akses aborsi yang aman diharuskan memilih, apakah mereka ingin menyelesaikan kasusnya tetapi harus mempertahankan kehamilannya. Atau, mereka melakukan aborsi yang aman tetapi berpotensi dikriminalisasi dan kasusnya tidak terselesaikan.
“Di masa krisis ini, tidak ada tempat untuk mencari bantuan selain membagikan kasus kita di media sosial, yang terkadang lebih mengancam korban,” tegasnya.
Melalui diskusi ini, AJI Jember menekankan pada tiga tujuan utama:
- Meningkatkan kesadaran pada individu atau organisasi kolektif berbasis feminis tentang keadilan reproduksi
- Menambah kapasitas tentang hak penyintas kekerasan seksual dan akses aborsi aman
- Menguatkan kolaborasi antar komunitas dan jaringan melalui rujukan di platform digital.
Foto: Miftah Sonia, moderator (kiri) dan Fitriyah Fajarwati, pemantik (kanan) tengah membersemai diskusi bertajuk “Akses Kesehatan Seksual dan Reproduksi untuk Situasi Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)”, Rabu (4/12/2024).(Dok. AJI Jember)